Anda  mungkin masih ingat dengan kisah Nabi Musa yang bersama kaumnya  diperintahkan oleh Allah untuk meninggalkan Mesir. Ketika telah sampai  di tepi Laut Merah, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukulkan  tongkatnya hingga laut luas yang berada di hadapan mereka terbelah  membentuk jalan dengan dua dinding air yang tinggi. Pernahkah anda  membayangkan betapa dahsyatnya kejadian tersebut?
Tongkat Nabi Musa adalah sebuah tongkat yang biasa dipakai oleh manusia di zamannya dan juga di zaman kita sekarang. Bahkan  menurut Nabi Musa sendiri ketika ditanya Allah, tongkat itu hanya untuk  membantu ia berjalan dan mengembalakan binatang ternaknya.  Pertanyaannya ialah, mengapa tongkat tersebut tiba-tiba bisa menjadi  ular besar yang siap menelan ular-ular hipnotisnya para tukang sihir dan  setelah itu bisa kembali menjadi tongkat biasa? (QS. Thaha : 17 – 21)
Yang  lebih dahsyat lagi, tongkat Musa dapat mengeluarkan 12 mata air setelah  dipukulkan ke sebuah batu besar (QS. Al-Baqarah : 60 dan Al-A’raf :  160). Apakah itu bukan peristiwa yang sangat luar biasa hanya dengan  alat dan sarana yang biasa-biasa saja? Kenapa di tangan kita tongkat  seperti itu tidak melahirkan sesuatu yang melebihi fungsinya? Ada yang  lebih sangat dahsyat lagi dari itu, yakni ketika Musa dan pengikutnya  sedang berhadap-hadapan dengan Fir’aun dan pasukannya di pinggir laut  merah. Pengikut Musa meyakini bahwa mereka, Fir’aun dan pasukannya akan  berhasil menangkap mereka, karena secara nyata dan kasat mata di hadapan  mereka laut merah sedangkan mereka tidak memiliki perahu atau kapal  untuk melarikan diri dari kejaran Fir’aun tersebut. Namun, Nabi Musa  berkeyakinan dan berpendapat lain sambil berkata : "Tidak mungkin… Sesungguhnya bersama saya ada Allah, Dia pasti menunjukkan jalan keluarnya" (QS As-Syu’ara’ : 61 -62).
Endingnya  ternyata persis seperti keyakinan dan pandangan Nabi Musa, bukan  seperti keyakinan dan pendapat pengikutnya. Lagi-lagi, tongkat Nabi Musa  yang sederhana itu bisa membelah laut merah, sehingga mereka bisa  melarikan diri di tengah lautan tanpa perlu adanya perahu layar atau  kapal. Yang lebih mengagumkan lagi, Musa dan pengikutnya lolos  menyeberangi laut merah, sementara Fir’aun dan pasukannya tenggelam dan  tamatlah riwayat mereka. (QS. As-Syu’ara’ : 63 – 66).
Kalau  kita cermati dengan baik, kesulitan, hambatan, persoalan, tantangan dan  bahkan resiko yang dihadapi oleh saudara kita di awal tulisan ini (dan  siapa saja yang ingin kembali kepada sistem ekonomi Allah dan Rasul-Nya,  dan juga sistem-sitem Islam lainnya), mirip dengan apa yang dihadapi  oleh manusia di zaman Nabi Musa. Demikian juga, karakter manusia, baik  di zaman Nabi Musa ataupuin di zaman sekarang, dalam menerima atau  mensikapi ajaran atau wahyu Allah terbagi kepada tiga golongan. Pertama,  yang meyakini dan memahaminya (wahyu Allah) seperti Nabi Musa. Kedua,  yang ragu-ragu seperti pengikut Nabi Musa. Ketiga yang mengingkari dan  memeranginya, seperti Fir’aun dan pasukannya.
Dalam  fakta dan akhir episode kehidupannya, ketiga golongan tersebut juga  berbeda-beda. Musa, dengan tongkat yang sederhana dan biasa-biasa saja,  dengan kehendak Allah jua, mampu melahirkan mukjizat-mukjizat yang tidak  akan mampu dilahirkan oleh teknologi secanggih apapun. Pengikutnya yang  ragu-ragu akan kebesaran dan kekuasaan Allah, di antaranya disebabkan  virus materialisame yang sudah menggerogoti otak dan jantung mereka,  tetap saja menjadi bangsa budak, tersesat di padang Tiin dan bahkan  kembali menjadi penyembah anak sapi, padahal baru saja melihat mukjizat  tongkat Nabi Musa saat membelah laut merah. Adapun Fir’au dan para bala  tentaranya Allah tenggelamkan di laut merah dan bahkan bangkainya Allah  selamatkan sampai akhir zaman agar menjadi pelajaran bagi seluruh umat  manusia yang lahir setelahnya (QS. Yunus : 90 – 92)
Melalui  misteri tongkat Nabi Musa tersebut dapat kita simpulkan, sesulit apapun  masalah yang kita hadapi, sebesar apapun tantangan dan hambatan serta  perlawanan terhadap upaya kita kembali kepada Islam, kepada sistem Allah  dan Rasul-Nya, tidak akan mampu menggagalkan kita, selama kita mampu  membebaskan diri, fikiran, hati dan perasaan kita dari belenggu  mentalitas materialistik yang sudah menggurita. Pada waktu yang sama  kita dituntut pula untuk berhasil mencari muka Allah sehingga Dia sudi  bersama kita (ma’iyyatullah).
Orang-orang  yang sama tingkat keyakinan mereka dengan Nabi Musa terhadap Kekuasaan  dan Kebesaran Allah dan sama tingkat pemahaman mereka terhadap Dzat  Allah, mereka bukan hanya mampu menghadapi berbagai kesulitan dan  hambatan tersebut dengan tegar dan kokoh, akan tetapi, di tangan mereka  juga akan lahir mukjizat-mukjizat atau karomah-karomah besar yang tidak  mampu diciptakan oleh teknologi secanggih apapun. Karena Allah bersama  mereka, sama halnya dengan Nabi Musa.
Al-Qur’an penuh dengan cerita mukjizat para Nabi dan Rasul. Bahkan Al-Qur’an itu semuanya mukjizat. Allahummar hamna bil Qur’an…. Sumber : eramuslim.com
 
 
 



Tidak ada komentar:
Posting Komentar